Sumber: VOA-Islam
RUU Pendanaan Terorisme Disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI
(PERANG DUNIA XXX) --- Jakarta// DPR RI menyetujui ditetapkannya Rancangan Undang-Undangan (RUU)
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
menjadi Undang-Undang.
Persetujuan
disepakati dalam rapat paripurna DPR RI setelah pembacaan hasil kerja
Panitia Khusus (Pansus) tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme oleh Ketua Pansus, Adang Daradjatun.
"Apakah
anggota Dewan yang terhormat dapat menerima dan menyetujui RUU tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme untuk
dijadikan Undang-Undang?" tanya pimpinan rapat paripurna DPR RI, Priyo
Budi Santoso kepada 350 anggota DPR RI yang hadir, Jakarta, Selasa
(12/2/2013).
"Setuju," jawab anggota DPR serentak.
DPR
memandang penting penetapan RUU tersebut menjadi Undang-undang. "Proses
pembentukan undang-undang ini pun telah mempertimbangkan kepentingan
nasional dan internasional dengan tetap mengutamakan kepentingan
nasional," ujar Priyo.
Ketua
Panitia Khusus RUU itu, Adang Daradjatun, menyampaikan ada isu-isu
penting terkait menjadi fokus proses pembahasan. Salah satunya keperluan
kerja sama internasional yang harus tetap mengutamakan kepentingan
nasional.
"Kemudian,
mekanisme pengawasan terhadap pengiriman uang yang diduga untuk
mendanai terorisme, ini diperlukan agar institusi tidak
sewenang-wenang," ujar Daradjatun.
Selain
itu, kata dia, penetapan daftar terduga teroris harus melalui mekanisme
yang dapat dipertanggungjawabkan dan juga harus objektif.
RUU Pendanaan Terorisme Disahkan, Pemerintah jadi 'Perampok'
Setelah disetujui Ketua Pansus, Adang Daradjatun, Senin kemarin, DPR RI
kemudian mengesahkan penetapan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme menjadi undang-undang dalam rapat
paripurna pada Selasa (12/2/2013).
Pengamat
kontra-terorisme, Harits Abu Ulya justru melihat RUU yang disahkan
menjadi undang-undang ini merupakan upaya pemerintah menyelaraskan dengan proyek barat dalam war on terrorism.
“Dalam
kajian atas draft RUU pendanaan terorisme ini terkesan pemerintah hendak
memberangus individu atau korporasi atau kelompok yang dicap teroris.
Dan “nafsu” ini berdiri di atas paradigma yang salah kaprah sejak awal.
Bahkan sangat terkesan pengesahan RUU adalah langkah penyelarasan atas
proyek global Barat yang bernama WOT (war on terrorism) yang
sangat pejoratif tendensius menjadikan umat Islam sebagai musuh dan
bidikan,” kata Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst
(CIIA) itu kepada voa-islam.com, Selasa (12/2/2013).
Harits
mengungkapkan banyaknya pasal karet dalam RUU tersebut yang bisa
digunakan untuk menjerat baik individu maupur korporasi lantaran hanya
karena ‘patut diduga’ mendanai aksi terror.
“Dalam
RUU ini memuat pasal karet, karena banyak frase “patut diduga”. Dan
seseorang/korporasi/lembaga bisa dikenai UU ini hanya karena alasan
patut diduga mendanai aksi teror langsung/tidak langsung,” ungkapnya.
Ia
menjelaskan, ada diantara pasal RUU pendanaan terorisme tersebut yang
begitu rentan disalahgunakan lembaga keuangan untuk memfitnah individu
maupun korporasi terkait kasus terorisme.
“Dalam
pasal 9 ayat 4 begitu rentannya disalahgunakan oleh lembaga keuangan
(lebih dari 18 jenis) untuk memfitnah seseorang/korporasi/lembaga dengan
alasan “patut diduga” kemudian melaporkan ke PPATK dengan delik tindak
pidana terorisme. Ini cara-cara jahat, melibatkan banyak pihak dengan
parameter yang kabur,” jelasnya.
Lebih
dari itu, pemerintah seolah layaknya ‘perampok’ atas asset seseorang
maupun korporasi hanya lantaran mereka diduga terlibat dalam pendanaan
terorisme.
“Bahkan
terkesan pemerintah ingin jadi seperti “perampok” atas aset korporasi
jika mereka tertuduh terlibat dalam pendanaan aksi teror langsung atau
tidak, lihat pasal 6 ayat 5d dan e,” tegasnya.
Anehnya
menurut Harits, kejahatan korupsi yang jelas-jelas merugikan negara
milyaran bahkan triliunan rupiah justru sama sekali tidak diberlakukan
pasal seperti di atas.
“Dalam
kejahatan besar, korupsi tidak diterapkan pasal ini, padahal korupsi
juga melibatkan persekongkolan banyak orang dengan sebuah perusahaan
atau departemen,” tandasnya. [Ahmed Widad]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar