Oleh : Abu Dzakir
(PERANG DUNIA XXX) --- Jakarta//
Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto dalam acara diskusi
publik bertema Hubungan Militer-Sipil, Rabu (24/4) di Tebet, megatakan tentara
militer Indonesia tidak memiliki kebanggaan sebagai garda terdepan.
“Tidak ada kebanggaan sebagai garda
terdepan bagi tentara jika peralatan tidak ada yang bisa diandalkan,” kata
Endriartono.
Menurut Endriartono, pasca reformasi
TNI tidak terlibat dalam politik. Namun yang menjadi masalah bagi TNI, sekian tahun
lamanya kondisi ekonomi TNI terlantar.
“Setelah TNI dilarang berbisnis,
dana anggaran dari APBN tidak juga mengucur. Sekian puluh tahun TNI tidak
diberikan Alutsista (Alat Utama Sistem Senjata) yang bisa dibanggakan,” kata
Panglima TNI di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati tersebut.
Pria kelahiran Purworejo itu
mengggambarkan ilustrasi perseteruan antara militer Indonesia dan Malaysia di
perbatasan.
“Kata tentara Malaysia, tidak usah
tembak pesawat Indonesia, sebab ia akan jatuh sendiri (karena rusak). Ketika
kapal Malaysia menyenggol kapal Angkatan Laut Indonesia, kata komandannya tidak
usah ditembak, sebab dua kilometer lagi akan tenggelam sendiri,” kata
Endriartono menggambarkan lemahnya kondisi peralatan tempur TNI.
“Sampai peristiwa tsunami Aceh, kita
tidak punya Alutsista apa-apa, sehingga harus mendatangkan tentara dari seluruh
dunia.”
Ditambah tidak ikutnya TNI dalam
pemilu membuat pihak militer merasa tidak memiliki andil dalam menentukan
pemimpin bangsa dan pemerintahan.
“Prajurit militer adalah warga negara
yang juga memiliki hak pilih. Prajurit-prajurit tersingkir dari kehidupan
masyarakat,” kata Endriartono yang menjabat Komandan Paspampres di akhir era
Presiden Soeharto.
Ketika Pemilu tiba, kata
Endriartono, Pemilu tidak memiliki mamfaat bagi militer. Saat ini TNI hanya
menonton, berjaga membantu polisi.
“Kami merasa ini sangat tidak adil,”
tegas Endriartono.
Menanggapi kekhawatiran akan
pecahnya TNI jika ikut memilih, dibantah oleh Jenderal (Purn) yang pernah
memutuskan TNI tidak memilih dengan alasan masa transisi yang belum jelas
arahnya.
“Tidak akan terjadi perpecahan di
TNI jika tentara ikut memilih. Hak pilih adalah hak individu warga negara,
bukan hak institusi,” katanya. “Jika ada komandan yang mengarahkan, berarti
melakukan politik praktis, pelanggaran seperti ini harus ditindak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar