(PERANG DUNIA XXX) --- DAKAR// Menjelang Hari Perempuan,
pada 8 Maret, Liberia menjadi negara
terbaru yang menandatangani perjanjian untuk mengakhiri kekerasan terhadap
perempuan dan anak perempuan, VOA News melaporkan Jumat (1/3).
Di Dakar, Organisasi Hak Asasi Manusia PBB untuk perempuan mengatakan hampir 100
negara tidak memiliki ketentuan hukum spesifik tentang kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.
wanita Liberia |
Seorang ibu rumah tangga (45) dari
Monrovia, Lucy Morris, mengatakan kekerasan terhadap perempuan merupakan
masalah serius di Liberia.
"Banyak dari kami yang dipukuli oleh
suami. Suami saya memukul saya hampir setiap waktu. Dia banyak sakiti saya.
Saya telah mengadu ke pengacara (hak) perempuan dan mereka telah memanggilnya
untuk penyelidikan, tapi hal ini masih terjadi, "katanya.
Morris
tidak sendirian. Data
terakhir dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan 33 persen perempuan
menikah di Liberia melaporkan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan
77 persen wanita Liberia mengatakan mereka
menjadi korban kekerasan seksual.
Kelompok
hak asasi manusia mengatakan ada kemungkinan angka-angka ini lebih tinggi,
karena banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Juru
bicara Departemen Gender dan Pembangunan Liberia, Smith Toby mengatakan Liberia
memiliki undang-undang terhadap kekerasan
dalam rumah tangga dan perkosaan, tetapi banyak kasus tidak pernah dilaporkan.
"Semua
hal ini (pemerkosaan, kekerasan) terjadi, tetapi diselesaikan di luar
pengadilan. Ada situasi di mana beberapa anggota keluarga datang dan mereka
ingin menyelesaikan dengan cara keluarga," kata Toby.
Dia
mengatakan banyak wanita yang terlalu takut untuk melaporkan kekerasan seksual
.
Ellen Johnson-Sirleaf, Presiden Liberia |
Awal
bulan ini, Presiden Ellen Johnson-Sirleaf mengambil langkah maju dalam
menangani permasalahan perempuan ketika menandatangani perjanjian PBB untuk
mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Dia kepala negara ke-19
yang melakukannya.
Dalam
perjanjian itu, pemerintah Liberia telah berjanji untuk mengadopsi dan
menerapkan undang-undang kekerasan yang kuat di dalam negeri, mengalokasikan
dana untuk Rencana Aksi Nasional tentang Kekerasan Seksual dan Gender, serta
meningkatkan upaya untuk meningkatkan akses perempuan terhadap keadilan dalam
kasus-kasus kekerasan berbasis gender.
Toby
berkata janji ini akan membantu lebih banyak perempuan tampil ke depan dan
membawa para pelaku kekerasan ke pengadilan.
"Sekarang
Anda memiliki perempuan di Liberia yang dapat berbicara tentang isu-isu yang
mempengaruhi mereka," katanya.
"Mereka
tahu apa hak-hak mereka dan mereka berbicara untuk hak-hak mereka. Jadi itu adalah harapan dari kementerian bahwa
penandatanganan dokumen ini juga akan meningkatkan kesadaran dan membantu
perempuan. Mendidik orang-orang tentang gender, kekerasan seksual, dan kekerasan domestik,"
tambah Toby.
Salome
Cankpane bertindak sebagai koordinator administrasi Perempuan dalam Aksi Progresif. Organisasi
bantuan setempat tersebut membantu
korban kekerasan berbasis gender untuk mencari
penasihat hukum.
Dia
mengatakan perjanjian itu merupakan isyarat penting atas nama pemerintah,
tetapi hingga sekarang wanita Liberia
harus mengambil sikap.
"Pemerintah
telah berusaha untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan, karena mereka telah
menempatkan undang-undang yang ada. Hukum akan dipaksa untuk diterapkan dan keadilan
akan mengikuti sekarang," kata Cankpane.
Sesuai
isi perjanjian, Kementerian Gender dan Pembangunan mengatakan mereka akan terus bekerja dengan pemerintah dan organisasi
hak asasi manusia, untuk memastikan hak-hak perempuan dan anak perempuan lebih
terlindungi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar