(PERANG DUNIA XXX) --- Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault mengatakan peranan buku tidak
akan pernah tergantikan oleh internet, Jakarta Jumat (1/3).
“Peranan buku tidak akan pernah tergeser oleh internet,”
kata Adhyaksa di sela-sela kunjungannya di 12th Islamic Book Fair
1434/2013(IBF).
Pernyataan pria yang juga menjabat Ketua Umum Vanaprastha
(Penggiat Alam Terbuka dan Aktivis Lingkungan) itu berdasarkan nubuwwah
(gambaran peristiwa masa depan) Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa perang
akhir zaman tidak menggunakan senjata berteknologi canggih.
“Sesuai dengan nubuwwah hadits, jika teknologi sudah
tidak ada, manusia akan kembali ke buku-buku,” kata Adhyaksa.
Namun Adhyaksa mengkritik kondisi perbukuan Indonesia
yang dinilainya sangat terlambat perkembangannya dibandingkan dengan Jepang.
“Jepang satu hari bisa menerbitkan 10.000 buku. Sama
sekali terlambat buku-buku kita. Minat baca generasi Indonesia besar, tapi
salurannya tidak ada,” katanya.
Jepang Bangsa Pembaca
Orang Jepang membaca dalam kereta |
Jepang mulai bangkit menjadi
"bangsa pembaca" pada masa Restorasi Meiji. Hasrat untuk menyamakan
langkah dengan Barat memicu mereka untuk bergegas melahap berbagai literatur.
Penerbitan massal mulai berkembang sejak itu.
Dorongan kedua datang lewat
kehancuran yang dibawakan oleh Perang Dunia II. Perpustakaan publik dibangun di
mana-mana. Menyebarnya jalur kereta ke berbagai pelosok sejak 1950-an secara
tidak langsung memperkuat kecenderungan masyarakat untuk membaca. Orang
menghabiskan waktu beberapa jam setiap hari dalam perjalanan dengan kereta.
Membaca budaya bangsa Jepang sejak dulu |
Pembaca Jepang yang memegang
buku bersampul rapi, kepala tertunduk, asyik terbenam dalam bacaannya, menjadi
pemandangan yang paling banyak ditemukan di dalam gerbong, selain orang yang
tertidur.
Selama masa-masa emas
penerbitan Jepang pada 1950-an dan 1960-an, jumlah buku yang diproduksi
pertahun terus melejit. Para pengarang seperti Yukio Mishima, Osamu Dazai,
Junichiro Tanizaki, dan Yasunari Kawabata bukan hanya dibaca oleh banyak orang
tetapi juga menjadi simbol budaya yang penting.
Tingginya produksi
mengakibatkan sejumlah besar buku dan majalah baru dikirim ke toko setiap
bulan, sehingga buku-buku tak dapat dipajang terlalu lama di rak toko. Karena
terbatasnya ruang dalam toko, tak jarang paket buku tersebut langsung
dikembalikan ke penerbit tanpa membuka bungkusnya. Akibatnya tingkat
pengembalian buku yang tak terjual ke penerbit menjadi sangat besar, rata-rata
40% dan pernah mencapai 50%.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar