Jakarta, 16
Rabiul Awal 1434/27 Januari 2013 (PERANG DUNIA XXX) – Ulama Suriah Syeikh Muhammad
al-Khattib as-Suri dalam acara penggalangan dana untuk korban konflik Suriah
mengungkapkan alasan-alasan rakyat Suriah membela diri, Sabtu malam (26/1) di
Tanah Abang, Jakarta Pusat.
“Berawal dari
gejolak Tunisia dua tahun lalu yang dimenangkan oleh rakyat. Lalu revolusi
beralih ke Mesir dan berhasil, kemudian Libya juga berhasil. Selanjutnya di
Suriah sampai detik ini selama 22 bulan,” ungkap Khattib di depan ratusan orang
yang hadir dalam acara yang diadakan oleh Fourm Indonesia Peduli Suriah (FIPS)
itu.
Khattib
menyampaikan bahwa selama 40 tahun kekuasaan Hafez al-Assad (1970 – 2000) yang
dilanjutkan oleh puteranya Bashar al-Assad (2000 – sekarang), 20 juta jiwa rakyat
Suriah hidup dalam kekerasan, ketertindasan, tekanan, siksaan, ketakutan, dan
pembantaian.
“Selama 40 tahun
ulama dan penuntut ilmu hidup dalam ketertindasan. Yang paling menjadi target
penangkapan dan pembunuhan adalah ulama dan penuntut ilmu. Mereka (rakyat
Suriah) diperangi hanya karena mengucapkan ‘rabbunallah’ (Rabb kami
adalah Allah). Sampai detik ini sudah 60 ribu yang tewas, data yang lain
menyebutkan sudah 100 ribu,” kata Khattib yang merupakan salah satu ulama Suriah
yang dilarang masuk ke negaranya.
Pada kesempatan
itu, Khattib menceritakan satu pembantaian yang pernah dilakukan oleh Hafez
al-Assad (ayah Bashar al-Assad). Suatu hari di kota Homs, 30 ribu ulama dan
pemuda dibunuh dalam satu hari dengan kondisi tergantung. Di hari itu juga
pembantaian tersebut dibersihkan dan ditutupi hingga sekarang.
“Rakyat Suriah
belum pernah mendapat keadilan. Islam dilecehkan, masjid-masjid hanya boleh
dibuka setiap waktu shalat,” kata Khattib.
Lebih lanjut pria
yang sudah 14 tahun menjelajahi Nusantara itu mengatakan perempuan-perempuan
Suriah banyak yang diperkosa kemudian disembelih dan dimutilasi lalu dibuang di
jalan.
Hal ini sesuai
dengan laporan yang dikeluarkan oleh Internasional Rescue Committee (IRC) dua
minggu yang lalu. Di tengah laporan penculikan, pemerkosaan dan
penyiksaan yang dilakukan tentara Nusairiyyah Alawiyah pimpinan Assad,
pengungsi Suriah mengatakan bahwa mereka melarikan diri dari konflik untuk
menghindari serangan seksual, bahkan krisis ini memaksa banyak perempuan
untuk menjual diri demi memberi makan anak-anak mereka.
"Setelah puluhan tahun bekerja di zona perang dan bencana, IRC tahu bahwa perempuan dan anak perempuan mengalami kekerasan fisik dan seksual dalam setiap konflik," kata IRC dalam sebuah laporan di situsnya, Senin 14 Januari.
"Setelah puluhan tahun bekerja di zona perang dan bencana, IRC tahu bahwa perempuan dan anak perempuan mengalami kekerasan fisik dan seksual dalam setiap konflik," kata IRC dalam sebuah laporan di situsnya, Senin 14 Januari.
Tuntutan revolusi
Suriah memuncak ketika Hamzah Ali al-Khateeb (bocah 13 tahun) tewas oleh rezim
Suriah.
Khateeb ditangkap aparat dalam sebuah aksi protes di
Jiza, sebuah desa di provinsi yang menentang pemerintahan Assad, Dar'a di Suriah, 29 April 2011 lalu.
Selama berbulan-bulan keluarganya menunggu dia pulang, sembari dilanda
kecemasan, nasib apa yang akan menimpa puteranya.
Khateeb akhirnya pulang tetapi sudah tanpa nyawa. Tubuhnya rusak menunjukkan bukti kekejaman yang dialaminya. Terdapat luka-luka sundutan rokok, terlihat juga dua luka akibat tertembus peluru. Lehernya patah, lututnya lepas dan alat vitalnya dimutilasi.
Khateeb akhirnya pulang tetapi sudah tanpa nyawa. Tubuhnya rusak menunjukkan bukti kekejaman yang dialaminya. Terdapat luka-luka sundutan rokok, terlihat juga dua luka akibat tertembus peluru. Lehernya patah, lututnya lepas dan alat vitalnya dimutilasi.
Ia
adalah korban termuda saat itu yang
menjadi penindasan kejam tentara Suriah terhadap para demonstran yang
mencoba menggulingkan Presiden Bashar al-Assad.
Tak hanya keluarganya yang berduka, masyarakat pun terluka. Tak heran, jika kemudian bocah itu menjadi simbol kuat revolusi di Suriah.
Tak hanya keluarganya yang berduka, masyarakat pun terluka. Tak heran, jika kemudian bocah itu menjadi simbol kuat revolusi di Suriah.
Ribuan pengunjuk rasa yang turun ke jalan Kota Damaskus yang sebelumnya dilumuri
darah, meneriakkan namanya. Sementara, anak-anak di Aleppo memanjat atap-atap
rumah untuk merayakan 'Hari Hamza'.
Tak hanya itu, di Kota Hama, 116 mil dari ibu kota, kerumunan besar demonstran memadati alun-alun utama kota, membawa foto Hamza.
Video kematian Hamza yang menyebar di internet dan kemudian disiarkan di stasiun televisi, Al Jazeera -- membuat kemarahan rakyat Suriah makin bergolak.
Di laman jejaring sosial, muncul grup 'We are all Hamza Ali al-Khateeb, the Child Martyr' atau 'Kami Semua adalah Hamza Ali al-Khateeb, Bocah yang Menjadi Martir'.
Tak hanya itu, di Kota Hama, 116 mil dari ibu kota, kerumunan besar demonstran memadati alun-alun utama kota, membawa foto Hamza.
Video kematian Hamza yang menyebar di internet dan kemudian disiarkan di stasiun televisi, Al Jazeera -- membuat kemarahan rakyat Suriah makin bergolak.
Di laman jejaring sosial, muncul grup 'We are all Hamza Ali al-Khateeb, the Child Martyr' atau 'Kami Semua adalah Hamza Ali al-Khateeb, Bocah yang Menjadi Martir'.
Radwan Ziade, aktivis hak asasi manusia
yang kini hidup dalam pelarian mengatakan pada Washington Post, Hamza
adalah simbol Revolusi Suriah. "Kematiannya adalah tanda kekejaman
sadistis rezim Assad dan aparatnya," kata dia.
"Kekejaman, penyiksaan, adalah hal yang biasa di Suriah. Ini bukan hal baru atau aneh. Tapi yang membuat Hamza spesial, ia tewas mengenaskan di usia 13 tahun. Ia masih anak-anak," tambah Ziade.
"Kekejaman, penyiksaan, adalah hal yang biasa di Suriah. Ini bukan hal baru atau aneh. Tapi yang membuat Hamza spesial, ia tewas mengenaskan di usia 13 tahun. Ia masih anak-anak," tambah Ziade.
Syeikh al-Khattib
menambahkan, “Pihak penentang Bashar al-Assad
sepakat bertujuan keluar dari rezim untuk kehidupan yang lebih adil.
Kami berharap konflik Suriah berakhir dengan kebaikan, kemenangan di pihak
rakyat Suriah.” (ABU DZAKIR).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar