Kamis, 24 Januari 2013

PRANCIS BURU “TERORIS” UNTUK BURU EMAS MALI



File photo shows a group of French soldiers in Mali.
Jakarta, 12 Rabiul Awal 1434/24 Januari 2013 (PERANG DUNIA XXX) - - Mali kaya akan kekayaan alam yang menguntungkan. Mali adalah negara produsen emas terbesar ketiga di Afrika. Francis menghasilkan 78 persen listriknya dari energi nuklir dan tertarik pada uranium Mali. Perusahaan Areva Prancis membangun pabrik uranium terbesar kedua di dunia di Nigeria.


Sementara tetangganya Nigeria adalah eksportir minyak terpenting di wilayah tersebut, mengirimkan jutaan barel per tahun ke negara-negara termasuk Inggris dan Amerika Serikat (AS). Amerika khususnya bergantung pada Afrika untuk mineral strategis dan minyak bumi, dengan hampir 14 persen dari impor minyak mentah AS yang berasal dari benua ini. Jadi Mali sangat berdampak besar bagi Barat.

French Army soldiers prepare to leave a base in the Malian town of Sevare on January 22, 2013.
“Ekstrimis Islam” adalah label sah awal penjajahan Prancis.

Pada 11 Januari, Prancis meluncurkan perang dengan dalih untuk menghentikan kemajuan para pejuang di Mali.

Sama seperti AS yang menggunakan label “senjata pemusnah massal” untuk menjajah Irak dan label “teroris” sebagai alasan untuk menjajah Afghanistan, Prancis memakai label “ekstrimis Islam” sebagai alasan untuk menyerang Mali. Padahal, menurut banyak pengamat, di balik agresi Prancis adalah tujuan kepentingan pribadi Prancis.   

Beberapa analis politik percaya bahwa sumber daya alam Mali, termasuk emas dan cadangan uranium, menjadi salah satu alasan di balik perang Prancis.

Pengamat dunia internasional, Finian Cunningham mengatakan, “Banyak dari penggambaran media Barat memfitnah orang-orang di Mali Utara sebagai ‘ekstrimis Islam’. Penggambaran itu lebih merupakan agenda politik mementingkan diri sendiri dengan menggunakan media Barat untuk mendiskreditkan dan menjelek-jelekkan gerakan politik yang tulus antara orang-orang Mali Utara untuk otonomi khusus dari rezim Francophile (Prancis) yang dibenci di Bamako.”

“Prancis membutuhkan dalih pergi ke Mali untuk beberapa kepentingan diri sendiri dan alasan geopolitik, termasuk menegaskan kontrol politik atas rezim kliennya di Bamako,” tambah Cunningham.

Untuk mencapai tujuannya tersebut, Prancis memulai serangan militernya di Mali dengan menyabotase perundingan yang sedang berlangsung antara pihak yang bertikai di Mali. Tujuan sabotase itu untuk memberi gambaran bahwa Mali dalam ancaman keamanan internasional dari pihak ekstrimis Islam.

Oposisi politik di Perancis menyatakan penyesalan atas isolasi’ negara dan kurangnya tujuan yang jelas’ dalam perang melawan Mali. Mereka menyeru pemerintah Prancis untuk memperjelas tujuan perangnya.

Presiden Mesir Muhammad Mursi memperingatkan Prancis bahwa serangan ke Mali Utara itu dapat memicu konflik regional. Mursi mengatakan bahwa intervensi adalah pelanggaran terhadap masyarakat  global. Hal itu dapat mengubah zona Sahara Afrika menjadi Afghanistan baru.

“Kami tidak menerima sama sekali intervensi militer di Mali, karena itu akan menyulut konflik di daerah tersebut,” kata penguasa Muslim negara benua Afrika itu, Senin (21/1).

Sementara pihak Prancis sendiri telah menyatakan bahwa Dewan Keamanan PBB telah merestui langkah negaranya. Termasuk beberapa negara Barat mendukung agresi Prancis tersebut. Walau tidak mengirim tentara, mereka membantu Prancis berupa dukungan intelijen, logistik, dan transportasi udara.

"Bapak Sekjen (Ban Ki-moon) menyambut baik atas kerjasama kedua negara (Prancis dan Mali) itu, yang berdasarkan permintaan pemerintah Mali, untuk menyerukan bantuan dalam menghalau gerakan para kelompok bersenjata dan teroris," demikian pernyataan Humas Sekjen PBB.

Perang Prancis pun dimulai.

Perancis memulai perangnya pada tinggal 11 Januari. Kini pasukan yang mencakup pasukan elit khusus dan detasemen Legiun Asing, dilengkapi dengan teknologi persenjataan tinggi , serta tank dan kendaraan lapis baja pengangkut personel sudah beroperasi di Mali. 

Dengan membawa ‘restu’ DK PBB  dan beberapa negara sekutu, juga didukung oleh Tentara Mali, mereka menyapu melalui kota-kota kunci di negara Afrika tengah seperti Diabaly dan Douentza pekan ini. Kedua kota tersebut sebelumnya dikendalikan oleh pejuang Islam Mali Utara.  

Yang terpenting dari semua serangan militer tersebut , Prancis memiliki kontrol udara yang berarti pesawat tempur Rafale dapat menghancurkan basis musuh dari udara dan mereka siapkan amunisi yang cukup banyak.

“Sebuah operasi militer barat tanpa kompromi melawan Islam radikal yang diperkirakan akan berakhir dalam hitungan minggu. ini kita mulai mengurus teroris ‘dari pangkalnya’,” kata Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius dengan arogan awal bulan ini menggambarkan intervensi negaranya di Mali. 

Selain militer Mali, Prancis pun mendapat bantuan militer dari beberapa negara Afrika seperti Nigeria, Togo, Burkina Faso, Senegal, dan Chad.

Pentagon melaporkan Angkatan Udara AS telah menerbangkan lima penerbangan C-17 ke Bamako, mengirim tentara Prancis dan 124 ton peralatan tempur. Juru bicara Departemen Dalam Negeri AS Victoria Nuland mengatakan bahwa antara 700 hingga 800 tentara Afrika tiba di Mali pada Selasa (22/1).

Nuland juga mengatakan bahwa Chad juga berkomitmen untuk mengirim antara 1.000 hingga 2.000 tentara, tergantung kebutuhan, dan mereka sedang bergerak menuju Mali.

Menurut Menteri Pertahanan Prancis Jean-Yves Le Drian, Kamis mengatakan bahwa Prancis akan menempatkan 2.500 tentaranya di Mali.
 
Mereka perangi Islam.

Menurut Guardian, serangan Prancis menjadikan Mali sebagai negara Muslim kedelapan yang yang diinvasi oleh Barat setelah Irak, Afghanistan, Pakistan, Yaman, Libya, Somalia, dan Filiphina. Perang ini semakin mengokohkan perang kolonial (penjajahan) Barat terhadap Islam dan negeri-negerinya. 
Semua yang menjadi lawan mereka di setiap negeri yang di invasi adalah gerakan pejuang Islam.

DK PBB justeru menyetujui invasi Prancis setelah serangan dilakukan terhadap negeri berpenduduk sekitar 15 juta jiwa itu. Dan restu itu menunjukkan bahwa PBB hanya menjadi alat politik negara-negara Barat.

Khusus di Mali Utara, Prancis berperang untuk memberangus kelompok pejuang Islam Jama’ah Ansor ad-Din. Kelompok Islam ini menguasai daerah bagian utara Mali yang luasnya lebih besar dari Prancis dan menuntut otonomi yang luas untuk memberlakukan syariat Islam.

Pasukan Islam ini terdiri dari sekitar 6.000 orang, termasuk sekitar setengah yang menjadi anggota Al-Qaeda di Maghreb Islam (AQIM). Kelompok ini sangat ditakuti oleh Prancis, yang dipercaya mereka ingin mendirikan sebuah pemerintahan gaya Taliban di Mali. Mereka menguasai Mali utara di tengah kekosongan kekuasaan akibat kudeta militer pada 22 Maret di wilayah selatan.
Ansaruddin menguasai Timbuktu, sementara Gerakan Tauhid dan Jihad (MUJAO) di Afrika Barat memerintah Gao, kota besar lain di Mali utara.

Kelompok-kelompok itu memberlakukan Syariah di wilayah mereka dan berniat memperluas penerapan hukum Islam itu di kawasan Mali yang lain.


Mencegah Berdirinya Negara Islam ?

Ada kemungkinan, selain motif kekayaan alam Mali dan intervensi rezim boneka Mali, motif  lainnya kenapa Perancis menyerang Mali adalah kekhawatiran tentang Mali menjadi sebuah negara Islam. Satu hal yang sangat ditakuti Barat selama ini adalah berdirinya negara Islam terutama yang menerapkan syariat Islam dan menolak segala bentuk intervensi Barat.

Ketika Presiden Amadou Toumani Toure dilengserkan dari posisinya oleh seorang kader militer pada pertengahan Maret, Gerakan Nasional Bagi Pembebasan Azawad (MNLA) dan MUJAO menguasai wilayah utara dan kota-kotanya termasuk Gao dan Timbuktu. Para mujahidin Mali bertekad untuk meraih kemenangan dan menerapkan syariah Islam.

Nicolas Sarkozy saat masih menjadi presiden Perancis telah memperingatkan tentang ancaman ini. Pada hari Jumat (13/4/12) dia menyerukan pentingnya melakukan segala upaya guna mencegah berdirinya sebuah negara yang dia sebut sebagai teroris atau Islam di wilayah pantai di Afrika Utara. Hal ini menyusul dominasi oposisi Tuareg dan pejuang Islam di Mali utara. Saat itu dia telah mengingatkan kemungkinan Prancis melakukan intervensi.

Tampaknya presiden Perancis saat ini Francois Hollande melanjutkan kebijakan dari Sarkozy yang dikenal sangat anti Islam. Sebutan teroris memang kerap kali dilabelkan oleh Barat untuk siapapun yang menolak penjajahan Barat dan menginginkan tegaknya syariat Islam.  Terorisme kemudian menjadi label sakti untuk membenarkan apapun tindakan Barat meskipun melanggar hukum internasional yang mereka buat sendiri.

Hollande tentu takut efek domino jika Mali jatuh ke kalangan Islam. Disekitar Mali terdapat bekas jajahan Prancis di negara-negara tetangganya seperti Pantai Gading, Chad dan Republik Afrika Tengah. (Abu Dzakir)
 
Dari berbagai sumber.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar